Senja di Bus Kota
Senja di Bus
Kota
![]() |
📸by : @sehabetailor |
"Kamu tau mengapa senja selalu dinanti walaupun kian pergi terganti sunyi?" dia bertanya tanpa memalingkan pandangannya. Seakan jingga itu tak pernah dilihatnya.
Aku menoleh ke sekitarku, "Bapak nanya ke saya?" tanyaku dengan
ragu-ragu.
"Ah engga, saya bertanya dengan gedung itu," jawabnya sambil tertawa
pelan, keriput di wajahnya semakin tampak. Dan kini mata tua itu bertemu dengan
mataku. Aku terdiam dengan jawabannya, mengutuk dalam hati, menyesali telah bertanya
padanya.
"Kamu tau mengapa senja selalu dinanti walaupun kian pergi
terganti sunyi?" tak lama kemudian dia kembali bertanya pertanyaan yang sama. Entah pada siapa.
"Bapak masih nanya si gedung?" tanyaku padanya.
"Ya enggak lah. Gedungnya kan sudah lewat," jawabnya,
yang kini menatapku “saya nanya ke kamu," lanjutnya sambil tersenyum kecil.
"Ooh, kirain masih berbincang dengan si gedung," aku
terkekeh meledeknya, "Hmm. Saya rasa karena warna jingga nya yang menenangkan. Entahlah,
seperti Tuhan sedang menghibur kita dari lelahnya berjuang."
"Iya, tapi kata siapa senja selalu jingga?" dia kembali bertanya.
"Kataku," aku tertawa pelan dan begitupun dia.
"Senja tak selalu jingga, pula tak selalu merah jambu. Terkadang
kelabu dan biru, tertutup awan abu-abu. Ajaibnya, senja selalu indah apapun
warnanya," tuturnya.
"Lalu apa yang membuat senja selalu dinanti? Padahal ia datang dan pergi seenak hati," tak kusangka
topik pembicaraan ini menarik.
"Senja tak pernah ingkar janji. Dia pergi berganti sunyi. Namun selalu datang lagi saat sang ufuk barat menanti kembalinya mentari. Seperti katamu, Tuhan tengah menghibur kita dari letihnya berselisih dengan hari," jawabnya sembari tersenyum menunjukkan
keriput-keriput di wajahnya. Aku ikut tersenyum dengan jawabannya. Kagum dengan segala tutur katanya.
Kami terdiam beberapa saat, sampai dia kembali bicara, "Apa tanggapanmu tentang mereka?" ia bertanya, lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya.
"Siapa?" tanyaku kembali.
"Mereka, orang-orang yang tiap harinya menyusuri lampu merah Jakarta untuk menjajakan barang dagangannya," aku mengikuti arah pandangnya.
Seorang anak laki-laki, entahlah kisaran sembilan hingga sepuluh tahun. Dengan kaos coklat dan celana selutut yang kumal, ia membawa ranjang penuh jajanan yang di sangkutkat dilehernya. Tidak jauh di belakangnya seorang nenek berjalan dengan pincang, bentuk kakinya seperti huruf X, dimana kedua lutut saling berhimpit, sementara pergelangan kakinya terpisah. Ia membawa koran-koran yang diletakkan di antara lengan-lengannya. Wajahnya nampak sangat lelah.
"Jakarta kota yang megah ya, hingga membuat kita lupa akan kehidupan di pinggirannya," katanya, masih memandangi anak laki-laki dan nenek itu.
Ia menghela nafas dan menghembuskannya dengan kasar, "Jakarta, dengan kemegahan kotanya seakan menjanjikan setiap orang untuk mewujudkan segala mimpi dan angan-angan. Sayangnya, tidak semua orang berhasil di Jakarta. Banyak dari mereka hanya tinggal di bantaran kali dan pinggiran rel kereta. Dengan rumah berbahan dasar papan dan kayu bekas. Tidur pun hanya beralaskan kasur yang lembab dan kotor, atau bahkan hanya beralaskan tikar. Untuk makan sehari-hari saja, bergantung pada hasil dagangan yang tak menentu," aku hanya diam. Mencerna tiap kata yang ia ucapkan.
Lalu ia kembali bicara, "Saya penasaran. Dengan mereka yang tidak pernah berhenti meminta lebih tanpa bersyukur, mereka yang menghalalkan segala cara agar menjadi kaya, mereka yang hidupnya selalu melihat ke atas dan enggan untuk melihat ke bawah. Padahal, kunci hidup bahagia hanya bersyukur. Dengan bersyukur, sekurang apapun kita, Tuhan pasti akan mencukupinya," Aku terdiam. Kehabisan kata-kata.
Semua orang adalah guru. Semua tempat adalah sekolah. Bahkan, setiap jam adalah waktu pelajaran.
Hari itu, tepat pukul lima sore mobilku tidak bisa di hidupkan. Mau tidak mau aku harus menaiki bus kota.
Saat itu bus kota sedang cukup ramai. Wajar, jam pulang kantor. Karena tidak ada kursi, aku harus berdiri hingga halte berikutnya. Untungnya setelah itu ada kursi kosong untuk kududuki. Di sana lah aku bertemu bapak tua yang tidak ku ketahui namanya. Dan dari beliau lah aku belajar banyak tentang hidup.
Bukan di sekolah, pula bukan dengan guru. Melainkan di bus kota dengan bapak tua yang baru kutemui hari itu.
Aku belajar tentang makna mensyukuri hidup.
Kami terdiam beberapa saat, sampai dia kembali bicara, "Apa tanggapanmu tentang mereka?" ia bertanya, lagi-lagi tanpa mengalihkan pandangannya.
"Siapa?" tanyaku kembali.
"Mereka, orang-orang yang tiap harinya menyusuri lampu merah Jakarta untuk menjajakan barang dagangannya," aku mengikuti arah pandangnya.
Seorang anak laki-laki, entahlah kisaran sembilan hingga sepuluh tahun. Dengan kaos coklat dan celana selutut yang kumal, ia membawa ranjang penuh jajanan yang di sangkutkat dilehernya. Tidak jauh di belakangnya seorang nenek berjalan dengan pincang, bentuk kakinya seperti huruf X, dimana kedua lutut saling berhimpit, sementara pergelangan kakinya terpisah. Ia membawa koran-koran yang diletakkan di antara lengan-lengannya. Wajahnya nampak sangat lelah.
"Jakarta kota yang megah ya, hingga membuat kita lupa akan kehidupan di pinggirannya," katanya, masih memandangi anak laki-laki dan nenek itu.
Ia menghela nafas dan menghembuskannya dengan kasar, "Jakarta, dengan kemegahan kotanya seakan menjanjikan setiap orang untuk mewujudkan segala mimpi dan angan-angan. Sayangnya, tidak semua orang berhasil di Jakarta. Banyak dari mereka hanya tinggal di bantaran kali dan pinggiran rel kereta. Dengan rumah berbahan dasar papan dan kayu bekas. Tidur pun hanya beralaskan kasur yang lembab dan kotor, atau bahkan hanya beralaskan tikar. Untuk makan sehari-hari saja, bergantung pada hasil dagangan yang tak menentu," aku hanya diam. Mencerna tiap kata yang ia ucapkan.
Lalu ia kembali bicara, "Saya penasaran. Dengan mereka yang tidak pernah berhenti meminta lebih tanpa bersyukur, mereka yang menghalalkan segala cara agar menjadi kaya, mereka yang hidupnya selalu melihat ke atas dan enggan untuk melihat ke bawah. Padahal, kunci hidup bahagia hanya bersyukur. Dengan bersyukur, sekurang apapun kita, Tuhan pasti akan mencukupinya," Aku terdiam. Kehabisan kata-kata.
Semua orang adalah guru. Semua tempat adalah sekolah. Bahkan, setiap jam adalah waktu pelajaran.
Hari itu, tepat pukul lima sore mobilku tidak bisa di hidupkan. Mau tidak mau aku harus menaiki bus kota.
Saat itu bus kota sedang cukup ramai. Wajar, jam pulang kantor. Karena tidak ada kursi, aku harus berdiri hingga halte berikutnya. Untungnya setelah itu ada kursi kosong untuk kududuki. Di sana lah aku bertemu bapak tua yang tidak ku ketahui namanya. Dan dari beliau lah aku belajar banyak tentang hidup.
Bukan di sekolah, pula bukan dengan guru. Melainkan di bus kota dengan bapak tua yang baru kutemui hari itu.
Aku belajar tentang makna mensyukuri hidup.
wow keren bgt
ReplyDelete